Sudah menjadi pemahaman umum bila bahasa adalah produk budaya yang antara lain menjadi penanda tinggi rendahnya peradaban. Sebuah peradaban, katakanlah Inggris, Perancis, Jerman, Jepang atau Arab, muncul, menguat, dan mendapat respek dari bangsa lain karena kemampuannya berkomunikasi, mengembangkan bahasa, sebagai alat utama untuk hidup berbudaya dan beradab.
Contoh-contoh bangsa di atas jelas kita ketahui memiliki sumber linguistik hanya satu, yakni bahasa yang diidentifikasi oleh nama bangsa atau adabnya. Tetapi, di Indonesia, sebagai sebuah bangsa, negeri ini ternyata dibangun oleh tidak hanya satu, tak cuma sepuluh, tetapi ratusan bahasa di seantero negerinya. Sebuah kekayaan yang tak dimiliki bangsa mana pun di atas bumi, kekayaan yang membuatnya sebagai bangsa tak bisa dipandang remeh oleh siapa pun.
Namun ternyata dalam kenyataannya, dari jumlah yang mukjizat itu, 746 bahasa, 726 di antaranya terancam punah (Kompas, 14 November 2007; Akung, 2011). Salah satunya bahasa Jawa dialek Banyumasan, yang tersebar di wilayah Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Tegal, Brebes, Pemalang, bagian barat Kebumen, serta bagian timur dan pesisir Cirebon (Indramayu). Penuturnya, terutama generasi muda, terkesan tidak yakin menggunakan dialek yang sering disebut ngapak itu dalam berkomunikasi. Bahasa Banyumasan dianggap sebagai bahasa yang ”lucu”, pinggiran, bahkan dianggap ”rendahan”.
Mungkin ini antara lain akibat media publikasi, seperti televisi, yang memosisikan bahasa ngapak itu sebagai bahasa dari kalangan ”babu” atau pembantu rumah tangga. Humor slapstick yang mengiringi peran-peran itu menjadi cara tidak sengaja yang turut merendahkannya. Akibatnya, muncul kesan bahasa ngapak adalah bahasa (orang) yang kasar, tidak ”tinggi”, dan tidak sopan sehingga kurang pantas digunakan oleh mereka yang merasa dirinya elite.
Jawa Kuno Asli
Di sisi lain, Ahmad Tohari (dalam Ade, 2009) menegaskan bahwa dialek Banyumasan sebenarnya memiliki arti penting dalam sejarah bahasa Jawa. Dialek Banyumasan (dan dialek Tegalan) adalah turunan asli dari bahasa Jawa Kuno. Sejak berabad lampau, bahasa Jawa Kuno didominasi bunyi vokal ”a”, berbeda dengan bahasa Jawa Yogya-Solo yang lebih didominasi vokal ”o”.
Bahasa Jawa dengan vokal ”o” (Yogya-Solo) adalah bahasa baru yang sengaja dikembangkan Kerajaan Mataram sejak akhir abad ke-16. Hal ini ditandai dengan digunakannya taling tarung (tanda baca untuk vokal ’o’ untuk huruf Jawa). Pengembangan bahasa baru ini, menurut Tohari, adalah bagian dari politik penguasaan yang dilakukan Mataram terhadap wilayah Banyumas pada masanya. Bahasa dipolitisasi sedemikian rupa untuk menciptakan kelas sosial dengan menempatkan bahasa Jawa baru (vokal ”o”) sebagai bahasa berkelas tinggi.
Bahasa Jawa kuno yang pada akhirnya nanti berkembang menjadi dialek Banyumasan dan Tegalan adalah bahasa asli yang digunakan petani dan pedagang (kelas bawah). Jadi, bahasa ngapak adalah bahasa asli, bukan bahasa rendahan.
Hal ini juga ditegaskan Budiono Herusatoto dalam Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak (2008) yang antara lain mengatakan bahwa bahasa ngapak adalah istilah bahasa Jawa Banyumasan yang dilansir para priyayi wetanan yang berbahasa Jawa mbandhek.
Sikap dan politik bahasa dari keraton itu tentu saja dilandasai semangat dominatif. Mereka yang dahulu menguasai wilayah Banyumas dan sekitarnya mencoba mengidentikkan bahasa Banyumas sebagai bahasa kelas dua, bahasa kawula alit.
Masyarakat non-ngapak seperti melakukan eksklusivisme ke dalam dirinya sendiri, yang sebenarnya justru mempersulit mereka untuk melakukan akulturasi. Seperti dalam pola-pola segregasi dalam politik dan juga kebudayaan, bahasa ngapak terposisikan sebagai liyan atau the other, pihak yang secara sengaja ditempatkan sebagai lawan, pesaing, kutub lain dari kebudayaan atau politik mainstream.
Budaya hierarkis
Konsep other selama ini secara laten dipakai untuk membangun sebuah struktur hierarki dari budaya yang dominan dan marjinal, modern-etnik, global-lokal. Tentu saja, budaya hierarkis semacam itu sangat bertentangan dengan multikulturalisme, semangat partisipatoris dan emansipatoris yang justru menjadi identitas dasar-dasar budaya di negeri ini.
Dalam relasi yang struktural-hierarkis itulah bahasa Jawa wetanan kemudian lebih sering digunakan sebagai bahasa keluarga karena dianggap lebih luhung atau luhur, lebih beradab, lebih modern, tepatnya lebih cocok dengan kebutuhan kekuasaan (penguasa).
Lalu perlahan, pengguna bahasa ngapak mulai kehilangan rasa percaya diri dan melupakan kearifan lokal, yang sebagian tersimpan di dalam bahasa asli mereka.
Karena itu, penting sekali mengembalikan rasa percaya diri itu, antara lain, dengan mengembalikan bahasa ngapak sebagai modus komunikasi utama dan terbaik para penuturnya. Bukan bahasa yang menjadi masalah, melainkan sebenarnya politik yang bermain di belakangnya. Dalam usaha ini, negara berperan penting, antara lain, untuk tidak menggunakan pluralitas bahasa sebagai alasan memperlemah rasa kesatuan, apalagi kekuasaan.
Pemerintah justru harus memperkuat penggunaan bahasa lokal beserta seluruh dialek-dialeknya, setidaknya agar masyarakat tidak hanya percaya diri, tetapi juga memiliki modal budaya yang kuat untuk melawan globalisasi budaya. Dengan kuatnya defensi kebudayaan ini, keutuhan bangsa, kepribadian bangsa, dan akhirnya kebudayaan bangsa akan tetap terjaga dan makin kuat karenanya. Bukankah bangsa dan negara pula yang akan menerima buahnya?
Oleh Purnawan Andra, Alumnus Jurusan Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Surakarta. Terbit di Kompas, 25 Juni 2012.